POLITIK PAKAIAN MUSLIM Feb 8, '06 12:39 AM
for everyone
POLITIK PAKAIAN MUSLIM
Oleh Nuraini Juliastuti
BEGINILAH cara berpakaian orang-orang Hindia Belanda yang digambarkan buku-buku perjalanan di Eropa: laki-laki Jawa 'mostly go naked and have a cloth around their waist that reaches under the knee, sometimes binding a sash around the same, into which they insert a kris or some other weapon, their head is covered by a cap, but they go barefoot', laki-laki Ambon 'wrap a cotton cloth around their head, both ends hanging down, and trim this headcloth with various flowers', sedang laki-laki Bugis 'almost naked and wear only around the loins, with a cap on their heads resembling a small basket'. Kaum pribumi yang diperkenankan memakai pakaian Eropatopi, sepatu, dan stokingadalah mereka yang beragama Kristen. Belanda melakukan hal ini karena ingin mempertahankan atau melindungi budaya pakaian ala Eropa hanya untuk diri mereka sendiri (Van Dijk,1997: 45-47).
Akan halnya pakaian muslim, selama tahun-tahun masa penjajahannya di Indonesia, Belanda kerap menghadapi pertempuran-pertempuran dengan para pejuang yang memakai pakaian muslim seperti yang dipakai kelompok etnis Arab. Dan motivasi perjuangannya pun tidak sekedar melawan penjajah Belanda, melainkan melawan sikap hidup non-Islami menurut mereka seperti berjudi, minum alcohol, merokok-opium dan tembakau, dsb. Pada perang 1825-1830, Pangeran Diponegoro mengenakan jubah dan turban. Catatan perang yang dibuat oleh Belanda saat itu menyebutkan “Pangeran Diponegoro berpakaian seperti pendeta, dengan jaket hitam dan turban warna hitam atau hijau”. Di Sumatera, Belanda juga berhadapan dengan Kaum Padri yang juga mengenakan jubah dan turban. Biasanya mereka yang mengenakan pakaian semacam ini adalah mereka yang telah melaksanakan ibadah haji. Saat itu masih belum banyak orang Indonesia yang mampu melaksanakan ibadah haji.
Menurut Van Dijk sejak 1914 ada trend berpakaian baru yang berkembang dengan cepat, yaitu kemunculan celana panjang dan topi, yang menggantikan sarung dan blangkon. Mereka yang menjadi pionir trend baru ini adalah para murid STOVIA, mereka yang berada di sekolah guru, kemudian diikuti oleh golongan priyayi tingkat rendahan, dan juru ketik. Tapi tentu saja trend ini dengan segera mengundang celaan dan kemarahan dari generasi tua, yang beranggapan bahwa bukan orang Jawa namanya kalau tidak mengenakan sarung atau kain batik. Sementara di kalangan nasionalis, trend baru ini juga menimbulkan perdebatan. Beberapa beranggapan bahwa pemakaian celana dan topi ala Eropa merupakan bentuk peniruan identitas penguasa asing, dan tentu hal ini bukan sesuatu yang baik bagi pergerakan. Sementara sebagian yang lain beranggapan bahwa pakaian ala Eropa adalah simbol kebebasan dan kemerdekaan dari budaya Jawa yang feodal. Minke, tokoh dalam novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer, adalah contoh orang yang merasa terbelenggu dalam pakaian Jawanya. Baginya berpakaian adalah suatu pilihan politis.
Banyak kaum muslim dan orang Jawa pada umumnya yang khawatir dengan pergantian mode ini: sarung berganti menjadi celana panjang, kemunculan kemeja dan dasi, rambut panjang kini menjadi lebih pendek. Beberapa kaum muslim bahkan mempertanyakan apakah ia sudah menjadi umat Islam yang cukup baik karena ia pergi ke masjid tidak dengan memakai sarung, melainkan memakai celana (Van Dijk, 1997: 65).
Seiring dengan berjalannya waktu, celana panjang, justru diakui dan dikenal sebagai pakaian laki-laki Indonesia pada umumnya. Sarung tidak lagi dipakai sebagai busana sehari-hari. Para pemakai sarung dianggap sebagai orang yang masih 'terbelakang'. Saat ini, kaum muslim di Indonesia mempunyai kebebasan untuk memilih busana model apa untuk dipakai di masjid: sarung atau celana. Tetapi di kota-kota kecil dan pedesaan Jawa, hingga hari ini, kita masih akan dapat menyaksikan kaum laki-laki yang ketika hendak bepergian masih memakai sarung, tetapi pada bagian atas memakai kemeja ditambah dengan jas, dan sabuk lebar melingkar di pinggang.
Turban yang dulu dipakai oleh seorang 'haji' atau kaum muslim di Jaman Belanda, kini sangat jarang digunakan. Saat ini turban dipakai oleh kaum muslim dari suatu kelompok yang dalam bahasa Orde Baru disebut sebagai kelompok Islam garis keras. Kaum perempuan dari kelompok ini pada umumnya memakai cadar. Tetapi AA Gym, tokoh Ustadz paling populer di Indonesia saat ini pun juga selalu berturban.
PADA 1930-an di Yogyakarta berlangsung polemik tentang jilbab. Seorang gadis sekolah berumur 17 tahun tidak setuju dengan peraturan yang menyarankan kepada kaum perempuan untuk mengenakan tutup kepala, guna menjaga kesucian kaum perempuan. Menurutnya, Jawa bukan Arab, dan memeluk agama Islam tidak berarti harus mengikuti adat istiadat seperti yang ada di Arab sana. Media Islam Bergerak saat itu berpihak kepada pendirian gadis ini (Van Dijk, 1997: 65).
Lebih dari 50 tahun berikutnya, dalam siaran pers yang dikeluarkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nugroho Notosusanto pada 1983 guna merespon persoalan murid perempuan berjilbab disebutkan, “Bagi pelajar yang karena suatu alasan merasa harus memakai kerudung, pemerintah akan membantunya pindah ke sekolah yang seragamnya memakai kerudung” (Kompas, 6 Agustus 1983). Sebelumnya, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan juga mengadakan pertemuan khusus dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI), dan menegaskan bahwa “Seragam harus sama bagi semua orang yang terkena oleh peraturannya, karena jika tidak itu bukan seragam namanya”.
Sementara dalam siaran pers yang dikeluarkan oleh Ketua MUI, KH. EZ. Muttaqien, menanggapi banyaknya pertanyaan yang disampaikan kepada MUI mengenai kerudung (bukan jilbab) yang dipakai bersama dengan seragam pelajar SLTP/SLTA dinyatakan bahwa: Pedoman Pemakaian Seragam di sekolah adalah pedoman untuk para kepala sekolah dalam mengatur pakaian seragam, menurut kondisi yang sesuai dengan makna pendidikan di daerahnya. Mengenai agama, segenap bangsa termasuk para pendidik dan mubaligh akan berpedoman kepada amanat Presiden di depan silaturahmi MUI yang mengandung 4 pokok yaitu hak asasi hidup beragama, pendalaman agama, hidup rukun beragama, dan kearifan dalam menyelesaikan masalah-masalah keagamaan. MUI bersama semua pihak sedang memikirkan pola operasional (cetak miring dari saya) dari amanat Presiden tersebut (Kompas, 29 Maret 1984). Perhatikan bahwa MUI mengatakan bahwa yang dipersoalkan di sini adalah 'kerudung', bukan 'jilbab'. Tampaknya 'jilbab' sendiri pada masa itu merupakan kosa kata baru.
Sampai pada 1987, seperti terungkap dalam acara Rapat Kerja Komisi IX DPR RI dengan menteri agama saat itu, Munawir Sjadzali, disebutkan bahwa menteri agama sendiri mengakui bahwa memang belum ada keputusan resmi mengenai bagaimana sebaiknya busana perempuan muslim di luar rumah karena pihaknya sendiri masih harus menunggu kesepakatan terlebih dulu dari para ulama (Kompas, 17 Juli 1987).
Akhirnya persoalan jilbab di sekolah ini semakin meruncing dengan pengaduan 4 siswa SMA 1 Bogor ke pengadilan berkaitan dengan sikap Kepala Sekolah SMA 1 Bogor yang tidak memperkenankan mereka memakai 'kerudung' (Kompas, 6 Oktober 1988). Hal ini dipicu dari surat pemberitahuan kepala sekolah kepada para orang tua ke-4 murid tersebut bahwa nama anak-anak mereka telah dicoret dari daftar hadir. Dalam gugatannya, ke-4 murid mengatakan bahwa keputusan kepala sekolah tersebut telah membuat status kesiswaan mereka menjadi mengambang. Hal-hal lain yang juga dilakukan terhadap mereka adalah hasil ulangan mereka tidak pernah diperiksa sehingga seolah-olah mereka tidak pernah mengikuti ulangan, PR dan praktikum pun tidak pernah lagi diperiksa oleh para guru. Padahal dalam surat gugatan yang sama dikatakan bahwa meski mereka memakai kerudung, mereka tetap mentaati pedoman seragam sebagaimana ditentukan pemerintah, termasuk dalam hal warna. Tetapi pada akhirnya kasus ini oleh LBH (Lembaga Bantuan Hukum) Jakarta diberitakan berhasil diselesaikan secara damai.
Tahun berikutnya kasus yang sama terulang kembali. Sepuluh siswa SMA 68 Jakarta mengadu ke LBH Jakarta karena tidak bisa lagi mengikuti pelajaran karena dianggap melanggar tata tertib disiplin berpakaian di sekolah dan karena itu harus “dikembalikan kepada orang tua” (Kompas, 5 Januari 1989). Diberitakan bahwa pada awalnya mereka tidak diperkenankan mengikuti pelajaran dan ulangan umum, tetapi kemudian pihak sekolah tidak membagikan rapor dan melarang mereka masuk halaman sekolah.
Awalnya pihak sekolah menghimbau kepada para siswa yang 'berkerudung' tersebut untuk melepaskan kerudungnya selama mengikuti pelajaran, tetapi ini ditolak mereka dan juga orang tua mereka dengan alasan keyakinan agama. Pihak sekolah kemudian menganjurkan agar para murid tersebut pindah ke sekolah lain dan mengeluarkan surat yang menyatakan bahwa mereka “dikembalikan kepada orang tua”. Surat ini bahkan kemudian didukung oleh Kakanwil Depdikbud DKI Jakarta, Soegijo, yang dalam suratnya menyatakan: “Saya sampaikan terima kasih atas upaya menegakkan disiplin dan ketaatan pada peraturan yang berlaku bagi seluruh siswa. Bila bersedia melaksanakan peraturan, mereka dapat diterima bersekolah. Ulangan umum supaya diberikan sebagaimana mestinya”.
Di tengah-tengah pertikaian antara para murid dengan kepala sekolah tersebut, muncul sebuah pernyataan menarik, yang muncul dari sebuah acara diskusi buku Islam Alternatif karya Jalaludin Rakhmat. Pembahas buku, Dr.Ir. Fachrurrozie Sjarkowi, dalam artikel berjudul “Kalah Prestasi, Posisi Pemakai Jilbab Terpojok” tersebut mengatakan bahwa “segala insiden yang menimpa para murid berjilbab terjadi karena seringkali terlihat para siswi Madrasah tertinggal pengetahuan dan keterampilannya dari siswi sekolah umum. Akibatnya pemakai jilbab tidak sempat menjadi idola yang patut diteladani” (Kompas, 6 November 1989).
Peristiwa yang bisa dikatakan sebagai puncak dari segala perdebatan mengenai jilbab di dalam sekolah ini adalah diresmikannya peraturan penggunaan pakaian seragam yang khas untuk sekolah tingkat SLTP dan SLTA mulai tahun ajaran 1991/1992. Surat Keputusan No.100/C/Kep/D/1991 tersebut merupakan penyempurnaan dari Surat Keputusan No. 052/C/Kep/D/1982 tentang pakaian seragam sekolah, yang dikatakan telah ditetapkan melalui serangkaian konsultasi dengan pihak-pihak alim ulama, masyarakat, media massa, Kejaksaan Agung, Menteri Penerangan, dan BAKIN.
Pada surat keputusan baru ini disebutkan “siswi puteri yang karena keyakinan pribadinya menghendaki penggunaan pakaian seragam sekolah yang khas, dapat mengenakan pakaian seragam khas yang warna dan macamnya sesuai dengan lampiran. Juga bagi siswi puteri yang menggunakan pakaian seragam sekolah yang khas harus mendapat persetujuan dari orang tua atau wali siswa”. Sedangkan pada surat keputusan lama disebutkan “bagi sekolah yang berhubung pertimbangan agama dan adat istiadat setempat menghendaki macam dan bentuk berbeda, terutama untuk jenis pakaian seragam putri, maka dapat menggunakan pakaian seragam khas untuk seluruh siswa dalam satu sekolah”.
Hal lain yang berbeda adalah bentuk tutup kepala. Bila pada seragam khas yang lama, tutup kepala diikat seperti destar/blangkon, maka pada seragam khas yang baru tutup kepala bagi siswi puteri ditentukan berbentuk kerudung warna putih. Pada peraturan yang lama, blus berbentuk jas, lengan panjang, tidak dimasukkan ke dalam rok, dan panjang rok sampai lutut (untuk SMP), serta sampai mata kaki (untuk SMA). Sedang berdasarkan peraturan baru, blus berbentuk biasa, lengan panjang sampai pergelangan tangan, memakai satu saku tutup di sebelah kiri, dan dimasukkan ke dalam rok. Untuk panjang rok, baik SMP maupun SMA, panjang rok ditetapkan sampai pergelangan kaki.
Dengan adanya peraturan baru ini maka para murid perempuan muslim yang bersekolah di sekolah umum, bebas mengenakan jilbab untuk bersekolah. Sedangkan para murid perempuan yang kebetulan bersekolah di sekolah menengah Islam, atau perguruan tinggi Islam, biasanya memang diharuskan mengenakan jilbab di sekolah. Tetapi beberapa siswa atau mahasiswa hanya berjilbab jika berada di sekolah atau di kampus. Di luar kedua lingkungan itu, mereka melepas jilbab.
Selepas masa Orde Baru, tampaknya peraturan yang ketat terhadap tata cara berpakaian di sekolah menjadi agak longgar. Sehingga hasilnya, di satu sekolah bisa dijumpai beberapa macam model pakaian seragam. Mulai 2002 misalnya, terdapat kecenderungan cara berpakaian baru di kalangan para murid perempuan SMA di Jakarta. Di kota ini akan dengan mudah ditemui murid perempuan yang mengenakan rok panjang yang berlipit-lipit di bagian pinggangnya, sampai mata kaki, dengan atasan lengan pendek, dan rambut terurai seperti biasa. Sementara teman-temannya lain tetap mengenakan rok selutut, dan atasan lengan pendek biasa. Dan ada juga kelompok murid lain yang mengenakan jilbab dan potongan baju seperti seragam sekolah biasa, hanya roknya dibuat lebih panjang sampai mata kaki. Dari wawancara dengan murid perempuan sebuah SMA di Jakarta saya mendapatkan informasi bahwa rok panjang berlipit di pinggang yang dikenakan para murid perempuan ini adalah bagian dari gaya, fashion, dan bukan suatu penjajakan atau semacam latihan terlebih dulu sebelum memakai jilbab. Ditambahkan juga bahwa kebanyakan guru juga justru merasa senang dengan tren baru ini, karena menurut mereka hal ini membuat para murid perempuan tampil lebih sopan.
DI BEBERAPA daerah, kebijakan otonomi daerah disikapi oleh beberapa kota dengan pengetatan kehidupan beragama bagi para warga kotanya.
Bupati Cianjur Warsidi Swastomo misalnya menyerukan kepada seluruh pejabat dan pegawai di lingkungan Pemerintah Daerah Cianjur untuk mengenakan 'pakaian islami', dan meminta seluruh masyarakat untuk mengikutinya. Yang dimaksud dengan 'pakaian islami' itu adalah jilbab bagi para perempuan, dan baju koko atau biasa juga disebut baju taqwa (semacam baju kurung, berkerah bundar), dan kopiah bagi kaum laki-laki (Kompas, 1 Februari 2002). Hal ini dilakukan untuk meningkatkan sisi spiritualitas daerah Cianjur. Bupati mengatakan bahwa pembangunan spiritualitas agama akan berdampak terhadap peningkatan kualitas sumber daya manusia. Diberitakan juga bahwa kebijakan ini hanya diberlakukan kepada mereka yang beragama Islam saja, dan juga hal ini telah dikomunikasikan kepada para tokoh yang beragama non-Islam, dan sudah mendapat persetujuan dari mereka.
Sementara itu di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), mulai 15 Maret 2002, bertepatan dengan Tahun Baru Islam 1 Muharram 1423 Hijriah, mulai diberlakukan Syariat Islam. Mulai hari itu resmi diberlakukan kawasan wajib tutup aurat, dan penulisan kembali nama-nama toko, jalan, dan tulisan-tulisan di bis dengan hutuf Arab dan Latin. Bagi mereka yang dianggap tidak berpakaian sesuai Syariat Islambagian kepala sampai ujung kaki yang tertutup bagi kaum perempuan; dan baju yang juga tertutup bagi kaum laki-lakiakan dikenakan sanksi. Diberitakan di media massa bahwa 2 hari menjelang diberlakukannya Syariat Islam, tampak kesibukan para pemilik toko yang mengganti nama tokonya dengan huruf Arab dan Latin, sementara para petugas kota Banda Aceh mulai mengganti nama-nama jalan, nama-nama kantor pemerintah, dengan huruf Arab dan Latin, bahkan nanti akan ada juga kantor-kantor yang menambah dengan menggunakan bahasa Inggris. Bus-bus penumpang jarak jauh dan antar kota juga harus memasang nama perusahaan angkutannya dengan huruf Arab dan Latin (Kompas, 14 Maret 2002). Kepada para pengusaha salon kecantikan juga dihimbau untuk mematuhi aturan sesuai semangat Syariat. Perempuan pekerja salon kecantikan misalnya, tidak dibenarkan memotong rambut kaum pria. Semua harus dibedakan: salon khusus laki-laki dan salon khusus perempuan.
Guna mendukung kebijakan ini, pemerintah Propinsi NAD merencanakan akan membentuk 2500 Polisi Khusus Syariah (Polsus Syariah). Kebutuhan dana untuk merekrut dan membentuk satuan Polsus Syariah ini menjadi beban pemerintah propinsi. Sedangkan keterampilan teknis kepolisian ditangani oleh Polda tingkat propinsi. Polsus Syariah berada di bawah Dinas Syariat Islam dengan tugas antara lain mengawasi tegaknya hukum Syariah di Propinsi NAD misalnya kewajiban menjaga aurat bagi perempuan dan pria dan larangan berbuat zina.
Otonomi daerah bagi kota-kota tersebut berarti dimaknai sebagai sesuatu yang memberi peluang atau kesempatan untuk memaknai agama Islam yang mereka peluk dengan bebas, tanpa ada rasa khawatir akan mendapat tekanan atau stigma tertentu. Mengingat kebijakan-kebijakan yang diambil dua kota diatas memang tidak mungkin dilakukan pada jaman Orde Baru dulu.
PERAGAAN dan lomba busana muslim mulai sering didakan sejak pertengahan 1990-an. Bahkan setiap tahun para perancang busana yang mengkhususkan diri pada busana-busana muslim ini juga mengeluarkan 'trend baju muslim' untuk tahun berikutnya, sama seperti perancang-perancang busana lain yang setiap tahun juga mengeluarkan rancangan trend busana musim gugur, musim panas, musim dingin, dll. Dan jika biasanya kita hanya menjumpai rancangan baju muslim di majalah-majalah perempuan pada kesempatan khususpada saat lebaran misalnyamaka mulai tahun-tahun ini, semakin banyak dan semakin sering busana muslim menghiasi halaman-halaman mode majalah.
Kini perempuan tidak lagi mengenakan jilbab dengan pakaian yang longgar-longgar sajayang tidak menunjukkan lekuk tubuh, tetapi juga dengan kaos atau hem lengan panjang yang ketat, atau juga celana jins yang kadang juga pas dengan lekuk tubuhnya. Fenomena ini menimbulkan istilah “jilbab gaul”, yang artinya kurang lebih 'jilbab yang bergaya'.
Jilbab dan baju muslim benar-benar jadi sesuatu yang populer akhir 1990-an. Riduan, seorang mahasiswa Jurusan Sastra Indonesia Universitas Negeri Malang misalnya membuat penelitian tentang bagaimana komunitas Kelurahan Penanggungan, Malang, Jawa Timur, pelan-pelan mulai mengubah gaya berpakaian mereka. Kaum perempuan pakai jilbab, sementara kaum laki laki memakai baju gamis dan peci. Fenomena tersebut dipicu oleh popularitas seni musik terbang Banjari di daerah tersebut. Mulai dari perayaan hari besar nasional, upacara penyembelihan ternak, sunatan, sampai arak-arakan pengantin, selalu dimeriahkan dengan musik tersebut. Cara berpakaian anggota kelompok musik terbangbaju gamisinilah yang kemudian diikuti oleh para penduduk setempat (Kompas, 27 Juli 2003).
Pada acara-acara pesta perkawinan di Indonesia kini, kita juga akan semakin banyak menemui para perempuan yang mengenakan setelan baju muslimtapi tentu dengan warna dan potongan yang lebih gaya. Karena dalam beberapa hal, mengenakan baju muslim juga bisa dikatakan sebagai sesuatu hal yang praktis karena dengan mengenakan jilbab, maka para perempuan tidak perlu lagi bersusah payah memakai sanggulpasangan kain-kebayayang terasa memberatkan kepala. Bagi sebagian perempuan, baju muslim juga dirasa lebih memberi kebebasan bergerak, daripada ketika harus memakai kain dan kebaya. Dalam kasus ini, kita bisa lihat alasan pemakaian jilbab yang tidak ada hubungannya dengan agama.
Satu hal lagi yang juga menambah popularitas pemakaian jilbab adalah ketika kalangan selebritisatau orang terkenal lainnyajuga mengenakan jilbab. Salah satu contoh yang bisa disebut disini adalah artis Inneke Koes Herawati, Yessi Gusman, atau Desi Ratnasari. Untuk generasi yang lebih tua bisa disebut nama Sitoresmi, Ida Royani atau Ida Leman. Ketiga nama yang disebut terakhir ini saat ini juga popular sebagai perancang-perancang busana muslim terkenal. Posisi artis atau seorang yang terkenal memang punya peran penting untuk menentukan posisi popularitas sesuatu. Suatu ketika di pasaran pernah sangat populer apa yang disebut 'kerudung Mbak Tutut', yaitu jenis kerudung yang biasa dikenakan oleh Mbak Tututnama panggilan Siti Hardiyanti Rukmana, puteri mantan Presiden Soeharto.
Pada 2002, ketika terjadi teror bom di Bali, disebutnya Jamaah Islamiyah sebagai dalam sejumlah pengeboman di Indonesia dan di negara lain, membuat baju muslim kembali menjadi sesuatu yang dicurigai. Meski begitu jilbab dan jenis-jenis baju muslim tetap populer di Indonesia. Dan satu hal yang bisa dilihat adalah terdapatnya keragaman jenis-jenis busana muslim yang bisa digunakan oleh perempuan Islam di Indonesia, termasuk ideologi yang berada di belakangnya.
0 komentar:
Posting Komentar