Ribuan tahun lamanya manusia mengenakan penutup tubuh. Letak geografis dan budaya juga mempengaruhi modelnya. Meski telah lama memakainya, tidak ada jaminan kita telah memahami apakah guna dan manfaat penutup tubuh -yang kemudian dinamakan pakaian- ini. Atau dalam pertanyaan yang radikal perlukah manusia menggunakannya?.
Dalam kehidupan sehari-hari, tentu kita menyaksikan seragam yang berbeda-beda antara anak sekolah, pekerja pabrik, pegawai negeri, dan Tentara. Penggunaan pakaian ini adalah sebagai identitas diri yang membedakan antara satu komunitas dengan lainnya. Identitas ini penting, karena menggambarkan eksistensi dan keberadaan seseorang. Dan inilah salah satu fungsi pakaian, yaitu sebagai pembeda seseorang dengan lainnya. Al qur’an menyebut tiga istilah untuk pakaian, yaitu: libas, tsiyab, dan sarabil. Akar kata pertama disebut 10 kali, kata kedua 8 kali, dan kata ketiga sebanyak 3 kali.
Mungkin kita bertanya, untuk apakah pakaian itu diciptakan?. Guna menjawabnya, penulis memulai dengan membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia, bahwa pakaian berarti barang yang dipakai, seperti baju, celana, dan lain sebagainya. Seorang pakar bahasa mengatakan bahwa pakaian dalam bahasa arab di sebut tsiyab atau tsaub yang berarti kembali.
Untuk memahaminya, mari kita mengadakan kajian historis tentang sejarah penciptaan manusia. Dalam al Qur’an Surat al A’raf ayat 20 dijelaskan peristiwa antara Nabi Adam dan Siti Hawa, “Setan membisikkan pikiran jahat kepada keduanya untuk menampakkan pada keduanya apa yang tertutup dari mereka yaitu auratnya, dan setan berkata, “Tuhan kamu melarang kamu mendekati pohon ini, supaya kamu berdua tidak nenjadi malaikat atau tidak menjadi orang-orang yang kekal (di surga)”.
Kemudian dalam ayat 22 dijelaskan pula:
“… setelah mereka merasakan (bauh) pohon (terlarang) itu, tampaklah bagi keduanya aurat-auratnya, dan mulailah keduanya menutupinya dengan daun-daun surga …”
Dari uraian dua ayat di atas dapat diambil kesimpulan bahwa pada dasarnya diri manusia itu “tertutup aurat”nya, namun karena godaan syetanlah aurat itu menjadi terbuka. Dengan ditutupinya aurat dengan pakaian, berarti telah dikembalikan kepada ide dasar manusia untuk menutup aurat. Itulah mengapa kemudian pakaian disebut dengan tsaub yang berarti kembali. Maksudnya dengan berpakaian berarti kita mengembalikan aurat pada ide dasar yaitu tertutup.
Lebih lanjut, sebuah riwayat mengatakan bahwa ketika Nabi Muhammad belum memperoleh keyakinan tentang apa yang di alaminya di Gua Hira, beliau menyampaikan hal itu kepada isterinya. Siti Khatidjah berkata, “Jika engkau melihatnya lagi, beritahulah aku”. Di kesempatan lain, ketika Nabi melihat malaikat yang dilihatnya di Gua Hira, Istri beliau membuka pakaiannya sambil bertanya, “Sekarang, apakah engkau masih melihatnya?” Nabi menjawab: “Tidak … dia pergi”, Khadjijah dengan penuh keyakinan berkata, “Yakinlah yang datang bukan setan … (karena hanya setan yang senang melihat aurat)”.
Ada banyak fungsi pakaian, diantaranya adalah sebagai penutup aurat. Yang dimaksud aurat disini adalah bagian-bagian tubuh yang tidak pantas untuk diperlihatkan dalam pandangan agama. Dikatakan aurat karena dalam bahasa, aurat bisa diartikan aib, cacat, dan cela. Maksud dari cacat disini bukan berarti makna hakiki wujudnya, karena pada dasarnya tidak secuilpun bagian tubuh manusia yang buruk, semua baik dan bermanfaat termasuk anggota aurat.
Namun dinggap cela atau buruk oleh agama karena faktor lain, yaitu adanya keterbukaan. Selama aurat itu tertutup maka baik dan jika terbuka maka menjadi buruk. Sekali lagi bukan masalah buruknya wujud bagian tubuh yang dianggap aurat, tetapi buruknya ketika diperlihatkan.
Agama secara tegas melarang membuka aurat, terutama aurat primer (kemaluan). Bahkan larangan ini mutlak bagi siapapun tak terkecuali bagi dirinya sendiri, meski tidak sampai pada batas keharaman. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan at Tirmidzi menyebutkan, “Hindarilah telanjang, karena ada (malaikat) yang selalu bersama kamu, yang tidak pernah berpisah denganmu kecuali ketika ke kamar belakang dan ketika seseorang berhubungan intim dengan isterinya. Maka malulah kepada mereka dan hormatilah mereka”.
Hadist lain mengatakan, “Apabila salah seorang dari kamu berhubungan intim dengan pasangannya, jangan sekali-kali keduanya telanjang bagaikan telanjangnya binatang (HR. Ibnu Majah).
Berangkat dari sinilah mengapa para ulama mengajarkan pada kita untuk menggunakan kain basahan saat mandi karena jangan sampai aurat primer terlihat oleh siapapun.
Namun ini adalah tuntunan moral. Adapun secara hukum fiqih, tidaklah seketat ini. Fuqoha Syafi’iyah berpendapat bahwa aurat perempuan terbagi menjadi beberapa kondisi, yaitu: saat sholat (dengan menutup seluruh tubuh kecuali muka dan telapak tangan), di luar sholat (menutup seluruh tubuh), saat bergaul bersama para wanita (menutup antara pusar dan lutut), dan saat bersama suami (diperbolehkan terbuka). Adapun untuk laki-laki adalah menutup anggota tubuh antara pusar dan lutut (baik dalam shalat atau di luar) serta boleh terbuka saat bersama isteri.
Fungsi lain adalah sebagai pelindung diri dan prilaku. Maksudnya pelindung diri adalah dengan berpakaian manusia bisa menghindari udara dingin, panasnya terik matahari, dan lain sebagainya. Adapun pelindung prilaku adalah pakaian memberi pengaruh positif terhadap penggunanya.
Semisal jika seseorang berpakain santri (berbeci bagi laki-laki dan berjilbab bagi perempuan) maka akan dapat mencegah penggunanya untuk tidak melakukan hal-hal yang tidak sesuai dengan sopan-santun santri. Selain itu, perlindungan prilaku juga bisa dimaknai bagi orang melihatnya. Dengan melihat perempuan yang tertutup maka dapat mencegah -atau minimal mengurangi- perbuatan yang tidak senonoh. Itulah mengapa agama memerintahkan wanita-wanita memakai jilbab -yang salah satu tujuannya- agar tidak di ganggu, “Yang demikian itu agar mereka lebih mudah untuk dikenal (sebagai muslimah/wanita terhormat) sehingga mereka tidak diganggu”. (al Ahzab: 59).
* RedakturMajalah KAKILANGIT dan
Penulis Buku Khazanah Khatuliswa
0 komentar:
Posting Komentar