SlideShow

My Playlist

Pages

Join The Community

Premium WordPress Themes

Kamis, 09 Desember 2010

Antara Terbuka Dan Tertutup

Ribuan tahun lamanya manusia mengenakan penutup tubuh. Letak geografis dan budaya juga mempengaruhi modelnya. Meski telah lama memakainya, tidak ada jaminan kita telah memahami apakah guna dan manfaat penutup tubuh -yang kemudian dinamakan pakaian- ini. Atau dalam pertanyaan yang radikal perlukah manusia menggunakannya?.
Dalam kehidupan sehari-hari, tentu kita menyaksikan seragam yang berbeda-beda antara anak sekolah, pekerja pabrik, pegawai negeri, dan Tentara. Penggunaan pakaian ini adalah sebagai identitas diri yang membedakan antara satu komunitas dengan lainnya. Identitas ini penting, karena menggambarkan eksistensi dan keberadaan seseorang. Dan inilah salah satu fungsi pakaian, yaitu sebagai pembeda seseorang dengan lainnya. Al qur’an menyebut tiga istilah untuk pakaian, yaitu: libas, tsiyab, dan sarabil. Akar kata pertama disebut 10 kali, kata kedua 8 kali, dan kata ketiga sebanyak 3 kali.

Mungkin kita bertanya, untuk apakah pakaian itu diciptakan?. Guna menjawabnya, penulis memulai dengan membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia, bahwa pakaian berarti barang yang dipakai, seperti baju, celana, dan lain sebagainya. Seorang pakar bahasa mengatakan bahwa pakaian dalam bahasa arab di sebut tsiyab atau tsaub yang berarti kembali.
Untuk memahaminya, mari kita mengadakan kajian historis tentang sejarah penciptaan manusia. Dalam al Qur’an Surat al A’raf ayat 20 dijelaskan peristiwa antara Nabi Adam dan Siti Hawa, “Setan membisikkan pikiran jahat kepada keduanya untuk menampakkan pada keduanya apa yang tertutup dari mereka yaitu auratnya, dan setan berkata, “Tuhan kamu melarang kamu mendekati pohon ini, supaya kamu berdua tidak nenjadi malaikat atau tidak menjadi orang-orang yang kekal (di surga)”.
Kemudian dalam ayat 22 dijelaskan pula:
“… setelah mereka merasakan (bauh) pohon (terlarang) itu, tampaklah bagi keduanya aurat-auratnya, dan mulailah keduanya menutupinya dengan daun-daun surga …”
Dari uraian dua ayat di atas dapat diambil kesimpulan bahwa pada dasarnya diri manusia itu “tertutup aurat”nya, namun karena godaan syetanlah aurat itu menjadi terbuka. Dengan ditutupinya aurat dengan pakaian, berarti telah dikembalikan kepada ide dasar manusia untuk menutup aurat. Itulah mengapa kemudian pakaian disebut dengan tsaub yang berarti kembali. Maksudnya dengan berpakaian berarti kita mengembalikan aurat pada ide dasar yaitu tertutup.
Lebih lanjut, sebuah riwayat mengatakan bahwa ketika Nabi Muhammad belum memperoleh keyakinan tentang apa yang di alaminya di Gua Hira, beliau menyampaikan hal itu kepada isterinya. Siti Khatidjah berkata, “Jika engkau melihatnya lagi, beritahulah aku”. Di kesempatan lain, ketika Nabi melihat malaikat yang dilihatnya di Gua Hira, Istri beliau membuka pakaiannya sambil bertanya, “Sekarang, apakah engkau masih melihatnya?” Nabi menjawab: “Tidak … dia pergi”, Khadjijah dengan penuh keyakinan berkata, “Yakinlah yang datang bukan setan … (karena hanya setan yang senang melihat aurat)”.
Ada banyak fungsi pakaian, diantaranya adalah sebagai penutup aurat. Yang dimaksud aurat disini adalah bagian-bagian tubuh yang tidak pantas untuk diperlihatkan dalam pandangan agama. Dikatakan aurat karena dalam bahasa, aurat bisa diartikan aib, cacat, dan cela. Maksud dari cacat disini bukan berarti makna hakiki wujudnya, karena pada dasarnya tidak secuilpun bagian tubuh manusia yang buruk, semua baik dan bermanfaat termasuk anggota aurat.
Namun dinggap cela atau buruk oleh agama karena faktor lain, yaitu adanya keterbukaan. Selama aurat itu tertutup maka baik dan jika terbuka maka menjadi buruk. Sekali lagi bukan masalah buruknya wujud bagian tubuh yang dianggap aurat, tetapi buruknya ketika diperlihatkan.
Agama secara tegas melarang membuka aurat, terutama aurat primer (kemaluan). Bahkan larangan ini mutlak bagi siapapun tak terkecuali bagi dirinya sendiri, meski tidak sampai pada batas keharaman. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan at Tirmidzi menyebutkan, “Hindarilah telanjang, karena ada (malaikat) yang selalu bersama kamu, yang tidak pernah berpisah denganmu kecuali ketika ke kamar belakang dan ketika seseorang berhubungan intim dengan isterinya. Maka malulah kepada mereka dan hormatilah mereka”.
Hadist lain mengatakan, “Apabila salah seorang dari kamu berhubungan intim dengan pasangannya, jangan sekali-kali keduanya telanjang bagaikan telanjangnya binatang (HR. Ibnu Majah).
Berangkat dari sinilah mengapa para ulama mengajarkan pada kita untuk menggunakan kain basahan saat mandi karena jangan sampai aurat primer terlihat oleh siapapun.
Namun ini adalah tuntunan moral. Adapun secara hukum fiqih, tidaklah seketat ini. Fuqoha Syafi’iyah berpendapat bahwa aurat perempuan terbagi menjadi beberapa kondisi, yaitu: saat sholat (dengan menutup seluruh tubuh kecuali muka dan telapak tangan), di luar sholat (menutup seluruh tubuh), saat bergaul bersama para wanita (menutup antara pusar dan lutut), dan saat bersama suami (diperbolehkan terbuka). Adapun untuk laki-laki adalah menutup anggota tubuh antara pusar dan lutut (baik dalam shalat atau di luar) serta boleh terbuka saat bersama isteri.
Fungsi lain adalah sebagai pelindung diri dan prilaku. Maksudnya pelindung diri adalah dengan berpakaian manusia bisa menghindari udara dingin, panasnya terik matahari, dan lain sebagainya. Adapun pelindung prilaku adalah pakaian memberi pengaruh positif terhadap penggunanya.
Semisal jika seseorang berpakain santri (berbeci bagi laki-laki dan berjilbab bagi perempuan) maka akan dapat mencegah penggunanya untuk tidak melakukan hal-hal yang tidak sesuai dengan sopan-santun santri. Selain itu, perlindungan prilaku juga bisa dimaknai bagi orang melihatnya. Dengan melihat perempuan yang tertutup maka dapat mencegah -atau minimal mengurangi- perbuatan yang tidak senonoh. Itulah mengapa agama memerintahkan wanita-wanita memakai jilbab -yang salah satu tujuannya- agar tidak di ganggu, “Yang demikian itu agar mereka lebih mudah untuk dikenal (sebagai muslimah/wanita terhormat) sehingga mereka tidak diganggu”. (al Ahzab: 59).
* RedakturMajalah KAKILANGIT dan
Penulis Buku Khazanah Khatuliswa

KENAPA MALU MEMAKAI PAKAIAN ISLAMI???


Sarung, Baju Taqwa, dan Songkok adalah sesuatu yang menjadi satu kesatuan untuk dikenakan kaum laki-laki. Kita bisa menggunakanya pada waktu dirumah, untuk sholat, mengaji, ataupun berpergian untuk bersilaturahmi. Ketika kita menggunakan itu kita akan terlihat sopan, karena pakaian itu merupakan ciri khas orang islam yang sopan dan santun.

Hendaknya kita menggunakan sarung, baju takwa yang berwarna putih dan songkok berwarna putih pada waktu sholat. Jangan kita hanya memakai celana, kaos, dan tanpa penutup kepala. Sholat bukanlah permainan, tapi ia adalah tanda ketundukan, keseriusan, ketawadhuan, dan kerendahan diri di hadapan Allah -Azza wa Jalla-. Seyogyanya seorang hamba saat ia menghadap, ia mengenakan pakaian yang layak digunakan; jangan asal-asalan dalam melaksanakan sholat . Pilihlah pakaian yang layak, sebab sebagian orang ada yang tidak memperhatikan pakaian dan kondisi dirinya, seperti ia masuk ke dalam sholat, menggunakan kaos, menggunakan celana, tanpa mengenakan penutup kepala, semisal surban, songkok, dan lainnya. Seakan-akan ia adalah seorang pekerja kuli yang mengenakan pakaian seadanya, padahal ia menghadap Allah Robbul Alamin.
Allah -Ta’ala- berfirman,

"Hai anak Adam, pakailah perhiasan kalian di setiap (memasuki) mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan". (QS. Al-A’raaf: 31).

Al-Imam Isma’il bin Umar bin Katsir Ad-Dimasyqiy-rahimahullah- berkata saat menafsirkan ayat ini, "Berdasarkan ayat ini dan hadits yang semakna dengannya dari Sunnah, maka dianjurkan berhias ketika hendak sholat, terlebih lagi di hari Jum’at, hari ied, dan juga (dianjurkan) menggunakan minyak wangi, karena ia termasuk perhiasan, serta (menggunakan) siwak, karena ia kesempurnaan hal itu. Diantara pakaian yang paling utama adalah pakaian putih".

Diantara perhiasan seorang mukmin adalah penutup kepala, seperti songkok, dan imamah (surban). Kebiasaan Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-, dan para sahabatnya, baik dalam sholat, maupun di luar sholat, mereka senantiasa mengenakan imamah (surban), burnus (penutup kepala yang bersambung dengan pakaian), atau songkok.adapun kebiasaan menelanjangi kepala, tanpa songkok atau surban, maka ini adalah kebiasaan orang di luar Islam.

Amr bin Huroits -radhiyallahu ‘anhu- berkata,

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَطَبَ وَعَلَيْهِ عِمَامَةٌ سَوْدَاءُ

"Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- pernah berkhutbah, sedang beliau memakai surban hitam". [HR. Muslim dalam Shohih-nya (1359), Abu Dawud dalam Sunan-nya (4077), Ibnu Majah dalam Sunan-nya (1104 & 3584)]

Al-Hasan Al-Bashriy -rahimahullah- berkata dalam menceritakan kebiasaan sahabat dalam memakai songkok dan imamah,

كَانَ الْقَوْمُ يَسْجُدُوْنَ عَلَى الْعِمَامَةِ وَالْقَلَنْسُوَةِ وَيَدَاهُ فِيْ كَمِّهِ

"Dahulu kaum itu (para sahabat) bersujud pada surban, dan songkok (peci), sedang kedua tangannya pada lengan bajunya". [HR. Al-Bukhoriy dalam Kitab Ash-Sholah: Bab As-Sujud ala Ats-Tsaub fi Syiddah Al-Harr (1/150) secara mu’allaq dengan shighoh jazm, Abdur Razzaq dalam Al-Mushonnaf (1566)]

Abdullah bin Sa’id-rahimahullah- berkata,

رَأَيْتُ عَلَى عَلِيِّ بْنِ الْحُسَيْنِ قَلَنْسُوَةً بَيْضَاءَ مِصُرِيَّةً

"Aku lihat pada Ali bin Al-Husain ada sebuah songkok putih buatan Mesir". [HR. Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushonnaf (24855)]

Inilah beberapa hadits dan atsar yang menunjukkan bahwa para salaf (Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-, sahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in), dan generasi setelahnya memiliki akhlaq, dan kebiasaan, yaitu menutup kepala baik di luar sholat, apalagi dalam sholat. Kebiasaan dan sunnah ini telah ditinggalkan oleh generasi

Islam, hanya karena alasan malu, dan tidak sesuai zaman –menurut sangkaannya- !! Terlebih lagi dengan munculnya berbagai macam model, dan gaya rambut yang terkenal, seperti model Duran-Duran, Bechkham, Mandarin, dan lainnya. Semua ini menyebabkan sunnah memakai penutup kepala mulai pudar, dan menghilang. Nas’alullahas salamah minal fitan.

Yang dipertanyakan mengapa sekarang banyak orang yang malu untuk mengenakan Songkok apalagi Sarung dan baju taqwa. Jarang sekali orang pergi keluar untuk silaturahmi memakai pakaian seperti itu. Orang lebih cenderung memakai celana, kemeja/kaos dan topi. Mereka lebih cenderung menggunakan budaya barat. Tak taukah mereka bahwa memakai sarung, baju taqwa, dan songkok lebih baik di bandingkan mereka yang memakai calana, kemeja/kaos dan topi.Padahal itu adalah budaya kita dan kita harus melestarikannya. Selain itu, juga pakaian yang sopan ketika dilihat orang dan juga sudah menutup aurat orang lelaki.

Benar kita sudah terjajah oleh budaya barat oleh orang-orang kafir yang dengan mudah memperdaya kita. Mereka menjajah agama kita dengan tidak langsung. Mereka menjajah secara perlahan-lahan dengan mengganti budaya kita. Kita harus sadar akan tindak kelicikan mereka. Kita harus kuat-kuat dalam menjaga agama kita serta budaya-budaya kita. Demi tegaknya agama islam yang kokoh.

Pakaian Isami


POLITIK PAKAIAN MUSLIM Feb 8, '06 12:39 AM
for everyone

POLITIK PAKAIAN MUSLIM

Oleh Nuraini Juliastuti


BEGINILAH cara berpakaian orang-orang Hindia Belanda yang digambarkan buku-buku perjalanan di Eropa: laki-laki Jawa 'mostly go naked and have a cloth around their waist that reaches under the knee, sometimes binding a sash around the same, into which they insert a kris or some other weapon, their head is covered by a cap, but they go barefoot', laki-laki Ambon 'wrap a cotton cloth around their head, both ends hanging down, and trim this headcloth with various flowers', sedang laki-laki Bugis 'almost naked and wear only around the loins, with a cap on their heads resembling a small basket'. Kaum pribumi yang diperkenankan memakai pakaian Eropatopi, sepatu, dan stokingadalah mereka yang beragama Kristen. Belanda melakukan hal ini karena ingin mempertahankan atau melindungi budaya pakaian ala Eropa hanya untuk diri mereka sendiri (Van Dijk,1997: 45-47).

Akan halnya pakaian muslim, selama tahun-tahun masa penjajahannya di Indonesia, Belanda kerap menghadapi pertempuran-pertempuran dengan para pejuang yang memakai pakaian muslim seperti yang dipakai kelompok etnis Arab. Dan motivasi perjuangannya pun tidak sekedar melawan penjajah Belanda, melainkan melawan sikap hidup non-Islami menurut mereka seperti berjudi, minum alcohol, merokok-opium dan tembakau, dsb. Pada perang 1825-1830, Pangeran Diponegoro mengenakan jubah dan turban. Catatan perang yang dibuat oleh Belanda saat itu menyebutkan “Pangeran Diponegoro berpakaian seperti pendeta, dengan jaket hitam dan turban warna hitam atau hijau”. Di Sumatera, Belanda juga berhadapan dengan Kaum Padri yang juga mengenakan jubah dan turban. Biasanya mereka yang mengenakan pakaian semacam ini adalah mereka yang telah melaksanakan ibadah haji. Saat itu masih belum banyak orang Indonesia yang mampu melaksanakan ibadah haji.

Menurut Van Dijk sejak 1914 ada trend berpakaian baru yang berkembang dengan cepat, yaitu kemunculan celana panjang dan topi, yang menggantikan sarung dan blangkon. Mereka yang menjadi pionir trend baru ini adalah para murid STOVIA, mereka yang berada di sekolah guru, kemudian diikuti oleh golongan priyayi tingkat rendahan, dan juru ketik. Tapi tentu saja trend ini dengan segera mengundang celaan dan kemarahan dari generasi tua, yang beranggapan bahwa bukan orang Jawa namanya kalau tidak mengenakan sarung atau kain batik. Sementara di kalangan nasionalis, trend baru ini juga menimbulkan perdebatan. Beberapa beranggapan bahwa pemakaian celana dan topi ala Eropa merupakan bentuk peniruan identitas penguasa asing, dan tentu hal ini bukan sesuatu yang baik bagi pergerakan. Sementara sebagian yang lain beranggapan bahwa pakaian ala Eropa adalah simbol kebebasan dan kemerdekaan dari budaya Jawa yang feodal. Minke, tokoh dalam novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer, adalah contoh orang yang merasa terbelenggu dalam pakaian Jawanya. Baginya berpakaian adalah suatu pilihan politis.

Banyak kaum muslim dan orang Jawa pada umumnya yang khawatir dengan pergantian mode ini: sarung berganti menjadi celana panjang, kemunculan kemeja dan dasi, rambut panjang kini menjadi lebih pendek. Beberapa kaum muslim bahkan mempertanyakan apakah ia sudah menjadi umat Islam yang cukup baik karena ia pergi ke masjid tidak dengan memakai sarung, melainkan memakai celana (Van Dijk, 1997: 65).

Seiring dengan berjalannya waktu, celana panjang, justru diakui dan dikenal sebagai pakaian laki-laki Indonesia pada umumnya. Sarung tidak lagi dipakai sebagai busana sehari-hari. Para pemakai sarung dianggap sebagai orang yang masih 'terbelakang'. Saat ini, kaum muslim di Indonesia mempunyai kebebasan untuk memilih busana model apa untuk dipakai di masjid: sarung atau celana. Tetapi di kota-kota kecil dan pedesaan Jawa, hingga hari ini, kita masih akan dapat menyaksikan kaum laki-laki yang ketika hendak bepergian masih memakai sarung, tetapi pada bagian atas memakai kemeja ditambah dengan jas, dan sabuk lebar melingkar di pinggang.

Turban yang dulu dipakai oleh seorang 'haji' atau kaum muslim di Jaman Belanda, kini sangat jarang digunakan. Saat ini turban dipakai oleh kaum muslim dari suatu kelompok yang dalam bahasa Orde Baru disebut sebagai kelompok Islam garis keras. Kaum perempuan dari kelompok ini pada umumnya memakai cadar. Tetapi AA Gym, tokoh Ustadz paling populer di Indonesia saat ini pun juga selalu berturban.



PADA 1930-an di Yogyakarta berlangsung polemik tentang jilbab. Seorang gadis sekolah berumur 17 tahun tidak setuju dengan peraturan yang menyarankan kepada kaum perempuan untuk mengenakan tutup kepala, guna menjaga kesucian kaum perempuan. Menurutnya, Jawa bukan Arab, dan memeluk agama Islam tidak berarti harus mengikuti adat istiadat seperti yang ada di Arab sana. Media Islam Bergerak saat itu berpihak kepada pendirian gadis ini (Van Dijk, 1997: 65).

Lebih dari 50 tahun berikutnya, dalam siaran pers yang dikeluarkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nugroho Notosusanto pada 1983 guna merespon persoalan murid perempuan berjilbab disebutkan, “Bagi pelajar yang karena suatu alasan merasa harus memakai kerudung, pemerintah akan membantunya pindah ke sekolah yang seragamnya memakai kerudung” (Kompas, 6 Agustus 1983). Sebelumnya, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan juga mengadakan pertemuan khusus dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI), dan menegaskan bahwa “Seragam harus sama bagi semua orang yang terkena oleh peraturannya, karena jika tidak itu bukan seragam namanya”.

Sementara dalam siaran pers yang dikeluarkan oleh Ketua MUI, KH. EZ. Muttaqien, menanggapi banyaknya pertanyaan yang disampaikan kepada MUI mengenai kerudung (bukan jilbab) yang dipakai bersama dengan seragam pelajar SLTP/SLTA dinyatakan bahwa: Pedoman Pemakaian Seragam di sekolah adalah pedoman untuk para kepala sekolah dalam mengatur pakaian seragam, menurut kondisi yang sesuai dengan makna pendidikan di daerahnya. Mengenai agama, segenap bangsa termasuk para pendidik dan mubaligh akan berpedoman kepada amanat Presiden di depan silaturahmi MUI yang mengandung 4 pokok yaitu hak asasi hidup beragama, pendalaman agama, hidup rukun beragama, dan kearifan dalam menyelesaikan masalah-masalah keagamaan. MUI bersama semua pihak sedang memikirkan pola operasional (cetak miring dari saya) dari amanat Presiden tersebut (Kompas, 29 Maret 1984). Perhatikan bahwa MUI mengatakan bahwa yang dipersoalkan di sini adalah 'kerudung', bukan 'jilbab'. Tampaknya 'jilbab' sendiri pada masa itu merupakan kosa kata baru.

Sampai pada 1987, seperti terungkap dalam acara Rapat Kerja Komisi IX DPR RI dengan menteri agama saat itu, Munawir Sjadzali, disebutkan bahwa menteri agama sendiri mengakui bahwa memang belum ada keputusan resmi mengenai bagaimana sebaiknya busana perempuan muslim di luar rumah karena pihaknya sendiri masih harus menunggu kesepakatan terlebih dulu dari para ulama (Kompas, 17 Juli 1987).

Akhirnya persoalan jilbab di sekolah ini semakin meruncing dengan pengaduan 4 siswa SMA 1 Bogor ke pengadilan berkaitan dengan sikap Kepala Sekolah SMA 1 Bogor yang tidak memperkenankan mereka memakai 'kerudung' (Kompas, 6 Oktober 1988). Hal ini dipicu dari surat pemberitahuan kepala sekolah kepada para orang tua ke-4 murid tersebut bahwa nama anak-anak mereka telah dicoret dari daftar hadir. Dalam gugatannya, ke-4 murid mengatakan bahwa keputusan kepala sekolah tersebut telah membuat status kesiswaan mereka menjadi mengambang. Hal-hal lain yang juga dilakukan terhadap mereka adalah hasil ulangan mereka tidak pernah diperiksa sehingga seolah-olah mereka tidak pernah mengikuti ulangan, PR dan praktikum pun tidak pernah lagi diperiksa oleh para guru. Padahal dalam surat gugatan yang sama dikatakan bahwa meski mereka memakai kerudung, mereka tetap mentaati pedoman seragam sebagaimana ditentukan pemerintah, termasuk dalam hal warna. Tetapi pada akhirnya kasus ini oleh LBH (Lembaga Bantuan Hukum) Jakarta diberitakan berhasil diselesaikan secara damai.

Tahun berikutnya kasus yang sama terulang kembali. Sepuluh siswa SMA 68 Jakarta mengadu ke LBH Jakarta karena tidak bisa lagi mengikuti pelajaran karena dianggap melanggar tata tertib disiplin berpakaian di sekolah dan karena itu harus “dikembalikan kepada orang tua” (Kompas, 5 Januari 1989). Diberitakan bahwa pada awalnya mereka tidak diperkenankan mengikuti pelajaran dan ulangan umum, tetapi kemudian pihak sekolah tidak membagikan rapor dan melarang mereka masuk halaman sekolah.

Awalnya pihak sekolah menghimbau kepada para siswa yang 'berkerudung' tersebut untuk melepaskan kerudungnya selama mengikuti pelajaran, tetapi ini ditolak mereka dan juga orang tua mereka dengan alasan keyakinan agama. Pihak sekolah kemudian menganjurkan agar para murid tersebut pindah ke sekolah lain dan mengeluarkan surat yang menyatakan bahwa mereka “dikembalikan kepada orang tua”. Surat ini bahkan kemudian didukung oleh Kakanwil Depdikbud DKI Jakarta, Soegijo, yang dalam suratnya menyatakan: “Saya sampaikan terima kasih atas upaya menegakkan disiplin dan ketaatan pada peraturan yang berlaku bagi seluruh siswa. Bila bersedia melaksanakan peraturan, mereka dapat diterima bersekolah. Ulangan umum supaya diberikan sebagaimana mestinya”.

Di tengah-tengah pertikaian antara para murid dengan kepala sekolah tersebut, muncul sebuah pernyataan menarik, yang muncul dari sebuah acara diskusi buku Islam Alternatif karya Jalaludin Rakhmat. Pembahas buku, Dr.Ir. Fachrurrozie Sjarkowi, dalam artikel berjudul “Kalah Prestasi, Posisi Pemakai Jilbab Terpojok” tersebut mengatakan bahwa “segala insiden yang menimpa para murid berjilbab terjadi karena seringkali terlihat para siswi Madrasah tertinggal pengetahuan dan keterampilannya dari siswi sekolah umum. Akibatnya pemakai jilbab tidak sempat menjadi idola yang patut diteladani” (Kompas, 6 November 1989).

Peristiwa yang bisa dikatakan sebagai puncak dari segala perdebatan mengenai jilbab di dalam sekolah ini adalah diresmikannya peraturan penggunaan pakaian seragam yang khas untuk sekolah tingkat SLTP dan SLTA mulai tahun ajaran 1991/1992. Surat Keputusan No.100/C/Kep/D/1991 tersebut merupakan penyempurnaan dari Surat Keputusan No. 052/C/Kep/D/1982 tentang pakaian seragam sekolah, yang dikatakan telah ditetapkan melalui serangkaian konsultasi dengan pihak-pihak alim ulama, masyarakat, media massa, Kejaksaan Agung, Menteri Penerangan, dan BAKIN.

Pada surat keputusan baru ini disebutkan “siswi puteri yang karena keyakinan pribadinya menghendaki penggunaan pakaian seragam sekolah yang khas, dapat mengenakan pakaian seragam khas yang warna dan macamnya sesuai dengan lampiran. Juga bagi siswi puteri yang menggunakan pakaian seragam sekolah yang khas harus mendapat persetujuan dari orang tua atau wali siswa”. Sedangkan pada surat keputusan lama disebutkan “bagi sekolah yang berhubung pertimbangan agama dan adat istiadat setempat menghendaki macam dan bentuk berbeda, terutama untuk jenis pakaian seragam putri, maka dapat menggunakan pakaian seragam khas untuk seluruh siswa dalam satu sekolah”.

Hal lain yang berbeda adalah bentuk tutup kepala. Bila pada seragam khas yang lama, tutup kepala diikat seperti destar/blangkon, maka pada seragam khas yang baru tutup kepala bagi siswi puteri ditentukan berbentuk kerudung warna putih. Pada peraturan yang lama, blus berbentuk jas, lengan panjang, tidak dimasukkan ke dalam rok, dan panjang rok sampai lutut (untuk SMP), serta sampai mata kaki (untuk SMA). Sedang berdasarkan peraturan baru, blus berbentuk biasa, lengan panjang sampai pergelangan tangan, memakai satu saku tutup di sebelah kiri, dan dimasukkan ke dalam rok. Untuk panjang rok, baik SMP maupun SMA, panjang rok ditetapkan sampai pergelangan kaki.

Dengan adanya peraturan baru ini maka para murid perempuan muslim yang bersekolah di sekolah umum, bebas mengenakan jilbab untuk bersekolah. Sedangkan para murid perempuan yang kebetulan bersekolah di sekolah menengah Islam, atau perguruan tinggi Islam, biasanya memang diharuskan mengenakan jilbab di sekolah. Tetapi beberapa siswa atau mahasiswa hanya berjilbab jika berada di sekolah atau di kampus. Di luar kedua lingkungan itu, mereka melepas jilbab.

Selepas masa Orde Baru, tampaknya peraturan yang ketat terhadap tata cara berpakaian di sekolah menjadi agak longgar. Sehingga hasilnya, di satu sekolah bisa dijumpai beberapa macam model pakaian seragam. Mulai 2002 misalnya, terdapat kecenderungan cara berpakaian baru di kalangan para murid perempuan SMA di Jakarta. Di kota ini akan dengan mudah ditemui murid perempuan yang mengenakan rok panjang yang berlipit-lipit di bagian pinggangnya, sampai mata kaki, dengan atasan lengan pendek, dan rambut terurai seperti biasa. Sementara teman-temannya lain tetap mengenakan rok selutut, dan atasan lengan pendek biasa. Dan ada juga kelompok murid lain yang mengenakan jilbab dan potongan baju seperti seragam sekolah biasa, hanya roknya dibuat lebih panjang sampai mata kaki. Dari wawancara dengan murid perempuan sebuah SMA di Jakarta saya mendapatkan informasi bahwa rok panjang berlipit di pinggang yang dikenakan para murid perempuan ini adalah bagian dari gaya, fashion, dan bukan suatu penjajakan atau semacam latihan terlebih dulu sebelum memakai jilbab. Ditambahkan juga bahwa kebanyakan guru juga justru merasa senang dengan tren baru ini, karena menurut mereka hal ini membuat para murid perempuan tampil lebih sopan.



DI BEBERAPA daerah, kebijakan otonomi daerah disikapi oleh beberapa kota dengan pengetatan kehidupan beragama bagi para warga kotanya.

Bupati Cianjur Warsidi Swastomo misalnya menyerukan kepada seluruh pejabat dan pegawai di lingkungan Pemerintah Daerah Cianjur untuk mengenakan 'pakaian islami', dan meminta seluruh masyarakat untuk mengikutinya. Yang dimaksud dengan 'pakaian islami' itu adalah jilbab bagi para perempuan, dan baju koko atau biasa juga disebut baju taqwa (semacam baju kurung, berkerah bundar), dan kopiah bagi kaum laki-laki (Kompas, 1 Februari 2002). Hal ini dilakukan untuk meningkatkan sisi spiritualitas daerah Cianjur. Bupati mengatakan bahwa pembangunan spiritualitas agama akan berdampak terhadap peningkatan kualitas sumber daya manusia. Diberitakan juga bahwa kebijakan ini hanya diberlakukan kepada mereka yang beragama Islam saja, dan juga hal ini telah dikomunikasikan kepada para tokoh yang beragama non-Islam, dan sudah mendapat persetujuan dari mereka.

Sementara itu di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), mulai 15 Maret 2002, bertepatan dengan Tahun Baru Islam 1 Muharram 1423 Hijriah, mulai diberlakukan Syariat Islam. Mulai hari itu resmi diberlakukan kawasan wajib tutup aurat, dan penulisan kembali nama-nama toko, jalan, dan tulisan-tulisan di bis dengan hutuf Arab dan Latin. Bagi mereka yang dianggap tidak berpakaian sesuai Syariat Islambagian kepala sampai ujung kaki yang tertutup bagi kaum perempuan; dan baju yang juga tertutup bagi kaum laki-lakiakan dikenakan sanksi. Diberitakan di media massa bahwa 2 hari menjelang diberlakukannya Syariat Islam, tampak kesibukan para pemilik toko yang mengganti nama tokonya dengan huruf Arab dan Latin, sementara para petugas kota Banda Aceh mulai mengganti nama-nama jalan, nama-nama kantor pemerintah, dengan huruf Arab dan Latin, bahkan nanti akan ada juga kantor-kantor yang menambah dengan menggunakan bahasa Inggris. Bus-bus penumpang jarak jauh dan antar kota juga harus memasang nama perusahaan angkutannya dengan huruf Arab dan Latin (Kompas, 14 Maret 2002). Kepada para pengusaha salon kecantikan juga dihimbau untuk mematuhi aturan sesuai semangat Syariat. Perempuan pekerja salon kecantikan misalnya, tidak dibenarkan memotong rambut kaum pria. Semua harus dibedakan: salon khusus laki-laki dan salon khusus perempuan.

Guna mendukung kebijakan ini, pemerintah Propinsi NAD merencanakan akan membentuk 2500 Polisi Khusus Syariah (Polsus Syariah). Kebutuhan dana untuk merekrut dan membentuk satuan Polsus Syariah ini menjadi beban pemerintah propinsi. Sedangkan keterampilan teknis kepolisian ditangani oleh Polda tingkat propinsi. Polsus Syariah berada di bawah Dinas Syariat Islam dengan tugas antara lain mengawasi tegaknya hukum Syariah di Propinsi NAD misalnya kewajiban menjaga aurat bagi perempuan dan pria dan larangan berbuat zina.

Otonomi daerah bagi kota-kota tersebut berarti dimaknai sebagai sesuatu yang memberi peluang atau kesempatan untuk memaknai agama Islam yang mereka peluk dengan bebas, tanpa ada rasa khawatir akan mendapat tekanan atau stigma tertentu. Mengingat kebijakan-kebijakan yang diambil dua kota diatas memang tidak mungkin dilakukan pada jaman Orde Baru dulu.



PERAGAAN dan lomba busana muslim mulai sering didakan sejak pertengahan 1990-an. Bahkan setiap tahun para perancang busana yang mengkhususkan diri pada busana-busana muslim ini juga mengeluarkan 'trend baju muslim' untuk tahun berikutnya, sama seperti perancang-perancang busana lain yang setiap tahun juga mengeluarkan rancangan trend busana musim gugur, musim panas, musim dingin, dll. Dan jika biasanya kita hanya menjumpai rancangan baju muslim di majalah-majalah perempuan pada kesempatan khususpada saat lebaran misalnyamaka mulai tahun-tahun ini, semakin banyak dan semakin sering busana muslim menghiasi halaman-halaman mode majalah.

Kini perempuan tidak lagi mengenakan jilbab dengan pakaian yang longgar-longgar sajayang tidak menunjukkan lekuk tubuh, tetapi juga dengan kaos atau hem lengan panjang yang ketat, atau juga celana jins yang kadang juga pas dengan lekuk tubuhnya. Fenomena ini menimbulkan istilah “jilbab gaul”, yang artinya kurang lebih 'jilbab yang bergaya'.

Jilbab dan baju muslim benar-benar jadi sesuatu yang populer akhir 1990-an. Riduan, seorang mahasiswa Jurusan Sastra Indonesia Universitas Negeri Malang misalnya membuat penelitian tentang bagaimana komunitas Kelurahan Penanggungan, Malang, Jawa Timur, pelan-pelan mulai mengubah gaya berpakaian mereka. Kaum perempuan pakai jilbab, sementara kaum laki laki memakai baju gamis dan peci. Fenomena tersebut dipicu oleh popularitas seni musik terbang Banjari di daerah tersebut. Mulai dari perayaan hari besar nasional, upacara penyembelihan ternak, sunatan, sampai arak-arakan pengantin, selalu dimeriahkan dengan musik tersebut. Cara berpakaian anggota kelompok musik terbangbaju gamisinilah yang kemudian diikuti oleh para penduduk setempat (Kompas, 27 Juli 2003).

Pada acara-acara pesta perkawinan di Indonesia kini, kita juga akan semakin banyak menemui para perempuan yang mengenakan setelan baju muslimtapi tentu dengan warna dan potongan yang lebih gaya. Karena dalam beberapa hal, mengenakan baju muslim juga bisa dikatakan sebagai sesuatu hal yang praktis karena dengan mengenakan jilbab, maka para perempuan tidak perlu lagi bersusah payah memakai sanggulpasangan kain-kebayayang terasa memberatkan kepala. Bagi sebagian perempuan, baju muslim juga dirasa lebih memberi kebebasan bergerak, daripada ketika harus memakai kain dan kebaya. Dalam kasus ini, kita bisa lihat alasan pemakaian jilbab yang tidak ada hubungannya dengan agama.

Satu hal lagi yang juga menambah popularitas pemakaian jilbab adalah ketika kalangan selebritisatau orang terkenal lainnyajuga mengenakan jilbab. Salah satu contoh yang bisa disebut disini adalah artis Inneke Koes Herawati, Yessi Gusman, atau Desi Ratnasari. Untuk generasi yang lebih tua bisa disebut nama Sitoresmi, Ida Royani atau Ida Leman. Ketiga nama yang disebut terakhir ini saat ini juga popular sebagai perancang-perancang busana muslim terkenal. Posisi artis atau seorang yang terkenal memang punya peran penting untuk menentukan posisi popularitas sesuatu. Suatu ketika di pasaran pernah sangat populer apa yang disebut 'kerudung Mbak Tutut', yaitu jenis kerudung yang biasa dikenakan oleh Mbak Tututnama panggilan Siti Hardiyanti Rukmana, puteri mantan Presiden Soeharto.

Pada 2002, ketika terjadi teror bom di Bali, disebutnya Jamaah Islamiyah sebagai dalam sejumlah pengeboman di Indonesia dan di negara lain, membuat baju muslim kembali menjadi sesuatu yang dicurigai. Meski begitu jilbab dan jenis-jenis baju muslim tetap populer di Indonesia. Dan satu hal yang bisa dilihat adalah terdapatnya keragaman jenis-jenis busana muslim yang bisa digunakan oleh perempuan Islam di Indonesia, termasuk ideologi yang berada di belakangnya.

Rabu, 08 Desember 2010

Merapi

PENDAHULUAN


Penulis mengambil topik “Menolong Korban Bencana Alam” sebagai pembahasan masalah karena dilatar belakangi oleh beberapa hal. Begitu banyak bencana alam yang terjadi di Indonesia, dari bencana alam yang berdampak ringan hingga bencana alam yang berdampak bera. Pada makalah ini akan difokuskan pada gunung meletus atau gunung berapi sesuai dengan skenario yang ada, dan Memang hampir tidak mungkin untuk mnecegah terjadinya suatu bencana yang sifatnya alami, tetapi dampak kerusakan yang ditimbulkannya memang dapat dapat kita kecilkan atau miniman.1
Tujuan penulis membahan “Menolong Korban Bencana Alam” dalam makalah ini, antara lain:
  1. Menjelaskan perubahan lingkunagan yang terjadi akibat gunung merapi
  2. Menjelaskan perubahan diri pribafi yang terjadi akibat gunung merapi.
  3. Menjelaskan prioritas permasalahan.
  4. Menjelaskan perbandingan teori dan realitas akibat gunung merapi.
  5. Menjelaskan model pendekatan pertolongan bagi korban bencana alam.
  6. Menjelaskan perubahan dan pengelolaan risiko.
Skenario
Skenario 5:
Anda sebagai seorang dokter umum akan pergi  mendampingi relawan dan tentara untuk memberikan bantuan terhadap sekelompok masyarakat pengungsian dan pedesaan yang baru saja menjadi korban bencana alam Gunung Merapi meletus. Kelompok anda adalah kelompok yang tiba pertama di lokasi tersebut dan di jadwalkan akan bertugas selama 3 bulan.
Definisi Gunung Merapi

Gunung berapi adalah tonjolan di permukaan bumi yang terjadi akibat keluarnya magma dari dalam perut bumi melalui lubang kepundan. Proses keluarnya magma ini disebut erupsi. Erupsi membawa serta bahan-bahan padat, cair, dan gas. Magma yang keluar disebut lava yang kemudian menimbun permukaan bumi di sekitar lubang kepundan. Lava itu semakin lama semakin tinggi. Biasanya erupsi disertai letusan gunung berapi. Letusan yang kuat disebut eksplosi, sedangkan letusan lemah disebut effuse. Letusan dahsyat biasanya disebabkan lepasnya gas atau magma secara tiba-tiba akibat tekanan dari dalam perut bumi.2 Akibat letusan tersebut bisa menimbulkan korban jiwa dan harta benda yang besar pada wilayah radius ribuan kilometer dan bahkan bisa mempengaruhi putaran iklim di bumi ini.3
  • Gunung Merapi meletus
  • Kelompok pertama yang terdiri dari dokter umum,relawan dan tentara yang memberikan bantuan kepada sekelompok masyarakat pengungsian yang tiba di pengungsian.
  • Bertugas selama tiga bulan.
Dalam menolong korban bencana alam terdapat perubahan-perubahan, baik lingkungan maupun diri sendiri/pribadi yang berpengaruh terhadap model pendekatan pertolongan kepada korban bencana alam tersebut.
-    Perubahan Lungkungan
-    Perubahan dalam diri sendiri
-    Prioritas Permasalahan
-    Model pendekatan pertolongan
-    Membandingkan Teori & Realitas
-    Perubahan & Pengenalan Resiko
Penjelasan
Menolong korban bencana alam tidak dapat dipaksakan, melainkan harus datang sendiri dari hati kita masing-masing. Terutama kita para dokter yang betugas bagi kesehatan dan kesejahteraan masyarakat secara fisik. Dalam menong korban bencana Alam tidak ada perbedaan maupun dia beragama berbeda dari kita tapi kita wajib membantu/menolongnya karena kita manusia adalah mahluk sosial yang dimana hidup berdampingan dan harus saling tolong-menolong.

Perubahan Lingkungan


Perubahan lingkungan merupakan dampak dari Gunung Meletus. Perubahan yang terjadi di lingkungan sekitar terbagi menjadi 4 : fisik,sosial,mental,dan spiritual.
Fisik


Selain adanya perpindahan tempat tinggal dan mengungsi ada juga perubahan lingkungan fisik berupa terganggunya pertanian. Dengan adanya letusan gunung merapi menyebabkan banyak sawah dan kebun yang tertutupi oleh debu, pasir, dan abu vulkanik dari gunung merapi yang menjadikan seluruh tanaman mati. Ia mengatakan silica dalam abu vulkanik sifatnya runcing dan tajam, sehingga abu vulkanik dalam jumlah banyak kemudian diterjang pesawat dengan kecepatan tinggi, tentu bisa menyebabkan kaca di depan pilot tergores dengan bidang yang lebar, kata Agus Hendratno.4 Karena abu vulkanik inilah yang menyebabkan matinya tanaman di sawah dan kebun.  Perubahan lingkungan fisik lain yang terjadi adalah jalanan rusak akibat getaran saat letusan gunung, polusi meningkat akibat letusan gunung merapi, rumah-rumah penduduk hancur, serta meningkatnya penyakit tertentu seperti sesak nafas dan TBC karena abu vulkanik Gunung Merapi.
Mental
Perubahan mental yang terjadi pada lingkungan sekitar bencana tersebut adalah mental para korban bencana tersebut menjadi lemah dan sering ketakutan. Selain itu emosi mereka pun tidak terkendali karena bencana tersebut mungkin menghancurkan rumah mereka, bahkan mungkin mereka kehilangan anggota keluarga mereka. Mereka akan frustasi dan apabila parah dapat menyebabkan kegilaan pada korban tersebut. Hal-hal yang tadinya jelas,teratur dan dapat diprediksi, berubah menjadi ketidak jelasan dan sulit diprediksi. Hal ini membuat persepsi seseorang akan kehidupan menjadi berubah. Perasaan marah,bingung,frustasi,tidak berdaya,merasa bersalah, sering dirasakan individu tersebut.5
Sosial
Bencana tidak saja berdampak dan mengakibatkan permasalahan baru yang di alami oleh orang dewasa, terlebih dari itu menyisakan keperihan dan luka yang mungkin saja akan terbawa oleh anak dalam waktu yang cukup lama bahkan sampai ia dewasa sebagai akibat adanya hambatan dan gangguan  tahap perkembangan anak karena pengalaman yang menyakitkan.6 Perubahan sosial yang lainnya juga terjadi seperti terhambatnya interaksi antar keluarga. Terhambatnya interaksi antar keluarga ini disebabkan karena banyak keluarga yang berpencar ketika mengungsi.9
Spiritual
Dengan adanya bencana alam berupa gunung merapi ada 2 perubahan spiritual yang terjadi. Yang pertama adalah marah kepada Tuhan karena diberikan ujian seperti yang dialami korban sehingga menyebabkan mereka kehilangan banyak harta benda dan keluarga. Yang kedua adalah mengucap syukur dan menerima kondisi yang ada. Namun ada juga masyarakat yang beranggapan jika bencana tersebut terjadi karena ini adalah tanda-tanda kiamat/akhir zaman.
Perubahan pada diri sendiri
Selain adanya perubahan lingkungan, sebagai dampak dari gunung meletus ada pula perubahan diri pribadi. Perubahan diri pribadi sama halnya dengan perubahan lingkungan, yaitu:
Fisik
Bagi seorang dokter yang menjadi relawan bagi korban bencana alam otomatis akan mengalami perubahan fisik. Kondisi tubuh yang semakin lemah karena keletihan saat menangani korban bencana yang begitu banyak serta Pola makan menjadi tidak teratur. Dan energi yang banyak terbuang sehingga kondisi tubuh menjadi lemah dan letih.
Mental
Sebagai seorang dokter tentu saja perubahan mental akan dialami seiring berlalunya waktu. Sebagai dokter, dalam menghadapi situasi seperti ini pasti akan sedih. Dan setelah berada langsung di lapangan/tempat pengungsian ternyata begitu banyak orang-orang yang membutuhkan pertolongan. Sebagai tim sukarelawan,dokter maupun tentara  kita harus memiliki sikap empati kepada para korban bencana. Karena, tidak menutup kemungkinan saat kita datang untuk menolong dan menghibur mereka, keadaan emosi mereka sedang sangat tidak baik atau labil.
Sosial
Perubahan sosial juga terjadi bagi seorang dokter yang menolong korban bencana alam, dalam hal ini adalah korban gunung merapi. Perubahan sosial yang terjadi dalam diri kita selaku dokter adalah saat  interaksi kita sebagai dokter dengan para korban yang merupakan pasien menjadi meningkat dan sangat dekat sekali bahkan kepedulian kita pada setiap korban semakin meningkat.Dan tugas kita kita sebagai dokter, memberikan bantuan sosial untuk melengkapi kebutuhan mereka, seperti kebutuhan pelayanan kesehatan mereka.
Spiritual
Sama halnya dengan perubahan spiritual yang terjadi pada kita selaku dokter dengan perubahan spiritual yang dialami korban yaitu bahwa rencana Tuhan indah pada waktunya sehingga mengucap syukur dengan apa yang sudah Tuhan berikan. Dan selalu berdoa agar korban dapat diberikan kekuatan oleh Tuhan dalam menghadapi ujian tersebut.
Prioritas Permasalahan
Dalam suatu permasalahan tentu saja ada yang menjadi prioritas dalam masalah tersebut. Memahami secara utuh batasan tentang bencana dan konsep konseptual penanggulangan bencana. Prioritas permasalahan yang terjadi adalah bagaimana kita sebagai tim sukarelawan berpikir kritis dalam menghadapi para korban bencana, membantu mereka, dan menenangkan emosi mereka. Dan yang paling di prioritaskan adalah menolong anak-amak,kalangan lansia,ibu hamil, serta orang-orang yang memiliki kekurangan secara mental ataupun fisik (cacat).7
Model pendekatan pertolongan
Model pendekatan pertolongan disebut juga sebagai manajamen korban massal. Perawatan medis untuk sejumlah besar korban kemungkinan diperlakukan hanya setelah terjadinya bencana jenis tertentu. Seperti Dalam menolong korban yang dalam keadaan depresi, kita harus dalam keadaan tenang, sehingga kita dapat menenangkan korban tersebut.
Biasanya korban memiliki keyakinan, persepsi, dan harapan yang negatif, oleh karena itu kita harus bisa merubah pandangannya tersebut. Selain itu kita juga melakukan pendekatan dengan membawa korban ke daerah pengobatan/perawatan, dimana tempat dialkukannya pertolongan medis dan perawatan terhadap korban bencana yang dibuat secara darurat dan dapat juga membawa korban ke daerah transportasi, dimana itu adalah tempat ambulan yang setiap saat dapat mengevakuasi korban bencana ke rumah sakit – rumah sakit.
Membandingkan Teori dan Realitas
Pertama kita harus membedakan mana yang merupakan teori dan realitas. Dalam peristiwa korban bencana alam seperti ini kita harus berpikir kritis kita harus benar-benar membuka mata dan membuka telinga kita, bahwa dalam keadaan seperti bencana Gunung Merapi meletus tidak menutup kemungkinan banyak terjadi penyelewengan dan penggelapan dana. Bisa itu dari pemerintah dan swasta. Di bawah ini yang menurut saya merupakan perbandingan antara teori dan realitas yang saya dapat yang antara lain :
v  Para pengungsian masih banyak yang menderita, mereka tidak mempunyai banyak bahan pangan dan pakaian. Padahal saya yakin bahwa banyak sekali orang yang telah mengirimkan bantuan baik itu berupa makanan,pakaian bahkan uang. Namun realitasnya para pengungsi masih menderita.
Pengenalan Perubahan & Pengenalan Resiko
Kita sebagai dokter dan ataupun relawan yang menolong korban bencana apalagi korban bencana Gunung Merapi yang dimana asap dan abu vulkanik dari letusan Gunung Merapi masih aktif dan banyak bertebaran.  Kita harus siap menerima apapun resiko yang mungkin kita alami yang antara lain kita bisa terkena hujan abu vulkanik,kita bisa asma, gangguan saluran pernapasan dan yang paling parah kita dapat kehilangan nyawa kita.
Meletusnya gunung merapi merupakan salah satu penyebab terjadinya perubahan-perubahan, baik perubahan lingkungan maupun perubahan diri pribadi.8 Perubahan yang terjadi adalah perubahan fisik, mental, sosial, dan spiritual. Perubahan-perubahan ini perlu dikelola agar terbentuk suatu sistem yang baru sehingga masyarakat dapat saling berinteraksi dan berkomunikasi dengan baik seperti semula sebelum terjadi bencana alam.
Pengelolaan perubahan ini dapat dilakukan dengan cara membantu para korban bencana gunung merapi, bantuan yang diberikan dapat berupa pelayanan kesehatan bagi para korban.
Kesimpulan
Dengan berpikir kritis, kita sebagai dokter dan relawan dapat mengenali perubahan-perubahan pada lingkungan dan diri pribadi sehingga dapat menerapkan model pendekatan dan pertolongan dengan baik dan benar. Karena bencana alam Gunung Meletus sangat berpengaruh terhadap perubahan lingkungan, diri sendiri dan keshatan masyarakat.